Menjaga lingkungan tetap hijau dan bersih adalah tanggung jawab kita bersama.
Banyak hal dapat dilakukan. Nggak usah mikir yang muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja.
Mulai dari rumah kita, mulai dari diri kita....

Senin, 28 Juni 2010

Reduksi Sampah oleh Penggembalaan Sapi di TPA

Salah satu TPA di Indonesia yang digunakan untuk penggembalaan sapi adalah TPA Piyungan yang terletak di wilayah Bantul – Jogjakarta. TPA Piyungan merupakan TPA regional yang digunakan oleh Jogjakarta, Sleman dan Bantul (Kartomantul). Menurut hasil penelitian kami pada awal tahun 2009, di TPA Piyungan terdapat sekitar 827 ekor sapi yang digembalakan setiap harinya. Dari sejumlah sapi tersebut, berapa sampah yang berhasil direduksinya?

Data dari Sekretariat Bersama Kartomantul (Jogjakarta, Sleman dan Bantul), pada tahun 2007 menunjukkan bahwa rata-rata timbulan sampah yang ditimbun di TPA Piyungan sebanyak 350 ton/hari. Apabila setiap ekor sapi mengkonsumsi sampah organik sebanyak 40 kg/hari, maka jumlah sampah yang dikonsumsi oleh 827 ekor sapi adalah 33 ton/hari atau 9,45% dari jumlah total sampah.

Sementara itu, dengan asumsi setiap ekor sapi menghasilkan feses sebanyak 10 kg/hari, jumlah feses yang dihasilkan oleh seluruh sapi di TPA Piyungan diperkirakan sebanyak 8 ton/hari. Apabila jumlah sampah yang dikonsumsi dikurangi dengan jumlah feses yang ditimbulkan, maka net reduksi sampah yang dilakukan oleh seluruh ternak sapi sebanyak 25 ton/hari atau 7,09% dari jumlah total sampah yang ditimbun di TPA setiap harinya.

Apabila sampah organik memiliki komposisi 68,35% atau timbulannya 239,23 ton/hari, maka reduksi sampah organik oleh ternak sapi adalah 9,5% dari jumlah total sampah organik.

Kemampuan ternak sapi yang digembalakan di TPA Piyungan dalam mereduksi sampah cukup fenomenal yaitu setara dengan kemampuan plant komposting yang mengolah sampah dengan kapasitas produksi kompos 17 ton/hari.

Sapi yang Digembalakan di TPA Mengandung Logam Beracun

Di antara berbagai jenis sampah organik di TPA, jenis yang dikonsumsi oleh ternak sapi antara lain adalah sampah sayuran, sampah buah-buahan, sampah sisa makanan, sampah rumput, dan sampah daun yang segar yang bercampur dengan sampah yang sudah membusuk dan berbagai jenis sampah anorganik. Oleh karena itu sering terjadi jenis-jenis sampah yang bukan pakan sapi seperti kantong plastik, sandal karet, kertas, dan sebagainya termakan oleh sapi.

Bercampurnya pakan sapi dengan sampah-sampah tersebut dapat membahayakan kesehatan ternak sapi. Jika sampah yang dimakan sapi bercampur dengan sampah beracun seperti racun serangga, maka efeknya dapat langsung terlihat berupa kematian sapi yang didahului dengan kejang-kejang. Menurut informasi penggembala, hal tersebut kadang-kadang terjadi di TPA.

Sementara itu efek jangka panjangnya dari memakan sampah yang bercampur dengan material lainnya adalah kemungkinan didapatkannya berbagai jenis penyakit pathogen dan akumulasi logam berat pada organ tubuh sapi.

Studi tentang kandungan logam berat pada tubuh sapi yang digembalakan di TPA telah dilakukan oleh Arifin, et al (2005) di TPA Jatibarang (Kota Semarang) dan oleh Dinas Pertanian Kota Solo di TPA Putri Cempo, Solo. Penelitian kesehatan sapi dan kandungan logam berat di dalam organ sapi yang digembalakan di TPA Piyungan belum pernah dilaksanakan sebagaimana yang pernah dilakukan pada sapi di TPA Jatibarang dan TPA Putri Cempo. Melihat kondisi TPA yang serupa, kemungkinan sapi-sapi yang digembalakan di TPA Piyungan juga mengandung logam berat yang berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya.

Menurut Arifin et al (2005) sapi yang sejak lahir digembalakan di TPA Jatibarang mengandung logam berat Pb (timbal), Hg (merkuri) dan Cd (kadmium). Hasil penelitian menunjukkan bahwa logam berat Pb, Hg dan Cd dapat dieliminasikan dari dalam tubuh sapi baik melalui urine maupun feses. Di dalam urine, residu Pb, Hg dan Cd ditemukan masing-masing sebesar 100,7; 14,4 dan 711,2 ppm dan sudah tidak terdeteksi lagi masing-masing pada hari ke-90, 62 dan 35. Sedangkan di dalam feses, Pb dan Hg masih terdeteksi hingga hari ke-90, sedangkan Cd sudah tidak terdeteksi pada hari ke 40. Sementara itu, di dalam darah kandungan Pb, Hg dan Cd masing-masing ditemukan sebesar 283,6; 87,3 dan 719,8 ppm, dan sudah tidak terdeteksi lagi masing-masing pada hari ke-90, 63 dan 42.

Menurut penelitian tersebut, setelah proses eliminasi, di dalam daging paha (bicep femoris) dan daging haas (longissimus dorsi) masih ditemukan residu Pb, masing-masing sebesar 0,285 dan 0,18 ppm; di dalam organ hati kandungan Pb dan Hg masing-masing sebesar 1,78 dan 0,085 ppm; di dalam ginjal kandungan Pb dan Hg masing-masing sebesar 1,44 dan 0,46 ppm; sedangkan di dalam rumen dan usus kandungan Pb masing-masing sebesar 0,96 dan 0,38 ppm.

Berdasarkan nilai kandungannya, residu ketiga jenis logam berat tersebut masih di bawah standar Maximum Residue Limit (MRL) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, sehingga masih dianggap aman untuk dikonsumsi menurut versi Indonesia tersebut. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan standar versi WHO, baik daging maupun organ dalamnya mengandung logam berat di atas MRL, sehingga masuk dalam kategori tidak aman untuk dikonsumsi. Apalagi kandungan ketiga jenis logam berat tersebut tentu saja akan berlipat-lipat lebih tinggi dari nilai MRL apabila sapi langsung dipotong tanpa proses eliminasi.

Sementara itu, penelitan terhadap kandungan logam berat di tubuh sapi yang digembalakan di TPA Putri Cempo yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kota Solo melalui CV Agrosemar menunjukkan bahwa daging sapi yang digembalakan di TPA mengandung kadar Pb melebihi 2 ppm. Sedangkan kandungan Hg masih berada di bawah ambang batas Depkes. Mengingat kondisinya yang demikian, pada tahun 2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Solo melarang sapi yang digembalakan di TPA Putri Cempo sebagai hewan qurban, karena dianggap tidak aman untuk dikonsumsi. Akibatnya penjualan sapi sebagai hewan qurban pada saat itu menurun drastis sehingga para peternak mengalami kerugian yang besar.

Bahkan Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang DKI Jakarta sebagai organisasi profesi dokter hewan yang memiliki kepedulian terhadap kesehatan masyarakat veteriner menyarankan penggembalaan sapi di TPA tidak dijadikan sebagai cara meningkatkan berat badan sapi, karena TPA mengandung banyak cemaran-cemaran seperti cemaran logam berat dan mikroba yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak dan produknya. Hg bisa menyerang jaringan syaraf otak, terutama pada sistem pengiriman pesan, penyebab tremor dan kelumpuhan, dan keturunan cacat. Sedangkan Pb, terutama memengaruhi kecerdasan anak-anak.

Minggu, 27 Juni 2010

Penggembalaan Sapi di TPA Perlu Dikaji

Dalam sistem pengelolaan sampah kota, ujung dari pembuangan sampah adalah tempat pembuangan akhir sampah atau sering disingkat TPA. Hampir semua TPA yang terdapat di kota-kota di Indonesia menganut sistem open dumping dan menerima segala jenis sampah yang berasal dari rumah tangga, pasar, lokasi komersial, fasilitas umum, dan sebagainya. Umumnya, sampah yang dibuang ke TPA didominasi oleh sampah organik seperti sampah daun, sisa makanan, sisa buah-buahan, dan sisa sayuran. Jenis-jenis sampah organik tersebut merupakan bahan pakan sapi yang potensial sehingga lahirlah kegiatan penggembalaan sapi di TPA.

Awal mulai kegiatan penggembalaan sapi tidak diketahui di TPA mana. Penggembalaan sapi umumnya berjalan sukses karena ongkosnya murah dengan pakan sampah yang gratis. Melihat keberhasilan tersebut, beberapa kota di Jawa melakukan kegiatan penggembalaan sapi dengan tujuan untuk mengurangi sampah di TPA, mengadakan sapi potong, dan meningkatkan derajat hidup warga di sekitar TPA. Umumnya, Pemerintah Kota mendukung penggembalaan sapi di TPA dalam bentuk pengadaan ternak sapi yang pemeliharaannya diserahkan kepada penduduk sekitar TPA dan para pemulung dengan sistem paron atau bagi hasil.

Sebagai contoh, Dinas Lingkungan Hidup dan Pelayanan Kebersihan Kota Tasikmalaya melalui biaya APBD pada tahun 2005 memberikan 6 ekor sapi kepada pemulung ditambah 4 ekor sapi dari swadaya pegawai dengan sistem bagi hasil. Pada tahun yang sama, Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Salatiga berencana memberikan 60 ekor sapi kepada para pemulung di TPA Ngrongo, sedangkan pada Oktober 2006, Pemkot Solo memberikan 250 ekor sapi kepada warga di sekitar TPA Putri Cempo. Sementara itu, pada tahun 2007, tercatat 200 ekor sapi yang digembalakan di TPA Jatibarang adalah miliki Pemkot Semarang.

Saat ini penggembalaan sapi di TPA mencapai ribuan jumlahnya. Di TPA Putri Cempo (Solo) sapi yang digembalakan pada tahun 2007 tercatat sekitar 1025 ekor, di TPA Jatibarang (Semarang) pada tahun 2006 tercatat sekitar 1500 ekor sapi, di TPA Ciangir tahun 2005 sekitar 10 ekor sapi dan di TPA Suwung (Bali) tahun 2002 sekitar 60 sapi. Sapi-sapi tersebut digembalakan di zona aktif TPA bersama-sama dengan aktivitas pemulungan sampah. Sapi memakan sampah organik, sedangkan para pemulung mengumpulkan sampah anorganik. Dengan banyaknya pemulung dan sapi, zona aktif TPA dipadati oleh ratusan sapi dan pemulung bersama buldozer yang lalu-lalang meratakan dan memadatkan sampah.

Menurut UU No. 18 Tahun 2008, pada tahun 2013 TPA sistem open dumping yang saat ini beroperasi sudah tidak diperbolehkan lagi, digantikan dengan sistem sanitary landfill atau lahan urug yang memenuhi kriteria sanitasi lingkungan5). Istilah tempat pembuangan akhir pun telah dirubah menjadi tempat pemrosesan akhir, yaitu pemrosesan sampah dalam bentuk pengembalian sampah ke media lingkungan secara aman. Terkait dengan arah perubahan tersebut kegiatan penggembalaan sapi di TPA tentu akan terpengaruh bahkan mungkin tidak direkomendasikan lagi.

Untuk itu perlu dikaji secara mendalam dampak penggembalaan sapi di TPA di tinjau dari sisi reduksi sampah, nilai ekonomi, operasi TPA, potensi konflik, dan keamanan daging sapi.

Sabtu, 26 Juni 2010

Segera Terbit: : BUKU TEKNOLOGI KOMPOSTING DAN PUPUK ORGANIK GRANUL



Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tiada habisnya sehingga buku TEKNOLOGI KOMPOSTING DAN PUPUK ORGANIK GRANUL  dapat segera terbit. Buku tersebut merupakan buku praktis yang berisi tentang teknologi pembuatan pupuk organik granul berbahan baku kompos. Maksud dari diterbitkannya buku ini adalah untuk mengisi ketiadaan buku tentang bagaimana cara memproduksi pupuk organik granul yang saat ini marak dilakukan oleh masyarakat.  

Buku ini terdiri atas enam bab. Bab Pertama merupakan bab pembuka yang menguraikan tentang perkembangan produksi dan kebutuhan pupuk organik granul terkait dengan program pemerintah dalam meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Bab selanjutnya, Bab Kedua, berisi tentang tata cara pembuatan kompos sebagai bahan baku pupuk organik granul, sedangkan Bab Ketiga berisi tentang berbagai jenis peralatan yang diperlukan dalam pembuatan pupuk organik granul. 

Tata cara pembuatan pupuk organik granul dibahas dalam Bab Keempat. Kemudian buku ini ditutup dengan Bab Kelima yang membahas tentang hal ikhwal standar pupuk organik granul. 

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Profesor Kardono, pimpinan kami, yang telah memberi motivasi sehingga buku ini bisa terbit. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada teman-teman peneliti dan perekayasa di Pusat Teknologi Lingkungan BPPT: Pak Djoko Heru Martono, Pak Henki Sutanto, Pak Acep Waluyo, Pak Sarkiwan, Pak Suprapto, Pak Samsuhadi dan Bu Erry yang telah membantu dan mengkritisi buku ini.  

Akhirnya, demi penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang, dengan segala kerendahan hati, kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi dunia perpupukan.

DAFTAR ISI BUKU

PRAKATA  ...ix

BAB 1
PENDAHULUAN ...1
1.1. Lahan Kritis di Indonesia …1
1.2. Upaya Perbaikan Lahan Kritis dengan Pupuk Organik …2
1.3. Kebijakan Pemerintah Mengatasi Lahan Kritis …3

BAB 2
PEMBUATAN KOMPOS SEBAGAI BAHAN BAKU GRANUL ...5
2.1. Pengertian Komposting …5
2.2. Proses Komposting ...6
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komposting ...7
2.3.1. Kelembapan (Kadar Air) ...8
2.3.2. Aerasi (Konsentrasi Oksigen) …8
2.3.3. Suhu …9
2.3.4. Ketersediaan Nutrisi (Keseimbangan Rasio C dan N) ...10
2.3.5. Keasaman (pH) ...11
2.3.6. Ketersediaan Mikroba ...11
2.3.7. Ukuran Partikel ...12
2.3.8. Ukuran Tumpukan ....12
2.3.9. Homogenitas Campuran ...13
2.4. Bahan Baku Kompos …13
2.5. Tata Cara Komposting …16

2.5.1. Pengiriman Limbah ….18

2.5.2. Pemilahan …19

2.5.3. Pencacahan …19

2.5.4. Pencampuran dan Pengkondisian Bahan Baku …20

2.5.5. Penyusunan Tumpukan ...21

2.5.6. Proses Fermentasi …22
2.5.7. Perguliran atau Pembalikan …24

2.5.8. Penyiraman ...27

2.5.9.  Pemanenan ...27

BAB 3
PERALATAN PEMBUATAN
PUPUK ORGANIK GRANUL ...31
3.1. Peralatan Pembuatan Pupuk Organik Granul ...31
3.2. Mesin Pengayak Kompos Curah ...32
3.3. Mesin Pencampur (Mixer) ...34
3.4. Mesin Piringan Granulator (Granulator Disc/Pan) ...36
3.5. Mesin Pengering Pupuk Organik Granul ...36
3.6. Mesin Pengayak Pupuk Organik Granul ...39
3.7. Konveyor ...41
3.8. Alat Bantu Lainnya ...41
BAB 4
TATA CARA PEMBUATAN
PUPUK ORGANIK GRANUL 43
4.1. Alur Pembuatan Pupuk Organik Granul ...43
4.2. Pengayakan Bahan Baku Pupuk Organik Granul ...44
4.3. Pencampuran Kompos dengan Filler dan Bahan Tambahan Lainnya …46
4.4. Proses Granulasi ...47
4.5. Pengeringan Pupuk Organik Granul ...49
4.6. Pengayakan (Screening) Pupuk Organik Granul  ...51
4.7. Pengayaan (Enrichment) dengan Mikroba ...53
4.8. Pengemasan dan Pelabelan Pupuk Organik Granul ...55
4.9. Penyimpanan ...56

BAB 5
STANDAR KUALITAS
PUPUK ORGANIK GRANUL 57
5.1. Pengendalian Kualitas Pupuk Organik Granul (POG) …57
5.1.1. Aspek Manfaat ...58
5.1.2. Aspek Keamanan ...58
5.2. Standarisasi Pupuk Organik Granul ...59
5.3. Persyaratan Teknis Pupuk Organik Granul …60
5.3.1. Kadar Air ...60
5.3.2. Kandungan Mikroba Fungsional ...61
5.3.3. Rasio C/N ...62
5.3.4. Tingkat Keasaman (pH) ...62
5.3.5. Kandungan Bahan Ikutan ...62
5.3.6. Kandungan Unsur Makro (C, N, P2O5 dan K2O) ...63
5.3.7. Kandungan Unsur Mikro dan Logam Berat ...63
5.3.8. Kandungan Bakteri Patogen ...63
5.3.9. Ukuran Butiran ...64
4. SNI Kompos ...64

Standar Pupuk Organik Granul Perlu Direvisi

Di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah, dikenal istilah Pupuk Organik Granul. Pupuk organik didefinisikan sebagai pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan/atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan/atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 lahir dalam rangka mendukung program subsidi pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah kepada petani yang diberikan melalui Departemen Pertanian. Para produsen pupuk organik granul harus memperhatikan Permentan tersebut. Namun sayangnya, di dalam persyaratan teknisnya pada beberapa hal masih terdapat informasi yang mengundang banyak pertanyaan sehingga perlu direvisi.

Berdasarkan Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009, beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam POG antara lain adalah rasio C/N, kandungan bahan ikutan, kandungan unsur mikro, kandungan organisme patogen, kandungan organik, dan kadar air.

Dalam Permentan tersebut, pupuk organik granul dibagi menjadi dua kelompok yaitu pupuk organik granul biasa (tanpa tambahan mikroba fungsional) dan pupuk organik granul dengan tambahan mikroba fungsional (seperti mikroba penambat N2 bebas, mikroba pelarut P, mikroba penyedia K dan sebagainya). Perbedaan kedua kelompok tersebut dalam persyaratan teknisnya hanya pada kriteria kandungan mikroba fungsional dan kadar air.

Kadar Air

Kadar air yang diperbolehkan dalam pupuk organik granul murni adalah antara 4-15%, sedangkan untuk pupuk organik granul yang diperkaya mikroba adalah 10-20%.

Batasan kadar air serendah itu untuk proses produksi pupuk organik granul dari kompos perlu dikritisi karena dalam proses pembuatannya boros energi dan mematikan kandungan beraneka ragam mikroba positif bawaan (native microbe) kompos yang digranulkan. Mengapa boros energi dan mematikan aneka mikroba?

Hal itu disebabkan karena untuk mengejar persyaratan tersebut, para produsen pupuk organik granul biasanya menggunakan mesin pengering dengan suhu hingga 100-200oC sehingga memerlukan pasokan energi yang cukup tinggi. Pasokan energi yang tinggi berarti pasokan biaya yang tinggi pula.

Sementara itu, dengan ekspos suhu di atas 100oC selama beberapa detik atau menit di mesin pengering, aneka ragam mikroba positif yang terdapat di dalam pupuk organik granul akan mati. Padahal mikroba-mikroba yang terdapat dalam kompos sangat bermanfaat dalam peningkatan kesuburan tanah.

Dengan demikian, implikasi dari persyaratan kadar air tersebut telah membawa pada konsekuensi logis pada pemborosan energi dan matinya aneka mikroba positif. Oleh karena itu hendaknya persyaratan kadar air dalam Permentan tersebut tidak serendah itu, tetapi ditingkatkan menjadi lebih tinggi lagi misalnya 20-30% (baik bagi pupuk organik granul murni maupun pupuk organik granul yang diperkaya mikroba).

Penentuan kadar air serendah itu mungkin cocok bagi industri pupuk kimia granul, bukan pupuk organik granul, yang memang bebas dari mikroba dan memerlukan bentuk yang kompak, bulat, dan keras.

Kandungan Mikroba Fungsional

Kandungan mikroba fungsional (penambat N, Pelarut P, atau Penyedia K) di dalam pupuk organik granul hasil pengayaan, minimal sebanyak 103/gram. Penambahan mikroba fungsional tersebut tentunya akan lebih efektif lagi kalau mikroba positif penghuni kompos tidak keburu mati pada saat pengeringan granul.

Dan seandainya tanpa pengeringan dengan suhu tinggi (dalam rangka menuju kadar air yang distandarkan), pupuk organik granul murni (sekalipun tanpa penambahan mikroba fungsional) secara alami telah membawa mikroba fungsional pula dengan jenis yang sangat beraneka ragam dan relatif adaptif.

Selain itu, seandainya pengeringannya dilakukan dengan suhu yang tidak terlampau tinggi, penambahan mikroba fungsional dapat dilakukan pada tahap granulasi sehingga tahap pengayaan mikroba setelah proses pengeringan dapat ditiadakan. Hal tersebut berarti juga akan menghemat ongkos produksi pupuk organik granul.

Rasio C/N

Dalam Permentan, rasio C/N yang biasanya terkait dengan tingkat kematangan produk kompos tidaklah mendapat perhatian yang serius sehingga nilainya relatif longgar dan rancu. Terkait dengan hal tersebut, di persyaratan disebutkan bahwa kandungan rasio C/N pupuk organik granul antara 15-25.

Rasio C/N dengan ambang batas atas sebesar 25 terlalu longgar karena biasanya dengan nilai sebesar itu dalam kacamata komposting, komposnya belum begitu matang. Sementara itu pembatasan rasio C/N pada batas bawah 15 adalah rancu, karena sebenarnya rasio C/N akan semakin baik jika semakin mendekati rasio C/N tanah (sekitar 10).

Cara pandang terhadap besaran rasio C/N tidak bisa dilepaskan dengan kriteria kompos matang karena bahan baku pupuk organik granul adalah kompos. Umumnya kriteria kompos yang telah matang adalah di bawah angka 20, dan tanpa ambang batas bawah.

Tingkat Keasaman (pH)

Di dalam Permentan tingkat keasaman pupuk organik granul terlalu longgar rentangnya yaitu antara 4-8. Hal ini juga mengundang pertanyaan karena nilai pH 4 merupakan nilai yang cukup ekstrim (karena sangat asam) bagi kehidupan organisma sehingga pemakaiannya untuk tanaman pada keasaman tersebut perlu dipertimbangkan dengan baik. Jika pH-nya masih serendah itu, tanaman yang dipupuk bisa mati. Standar keasaman yang baik adalah antara 6,5- 8,0.

Kandungan Unsur Makro (C, N, P2O5 dan K2O)

Kandungan C dalam pupuk organik granul minimal 12%. Nilai kandungan C, terutama C-organik, dalam POG akan memberikan indikasi besarnya kandungan material organik, karena dalam persyaratan pupuk organik granul tidak ada kriteria kandungan bahan organik. Semakin tinggi kandungan C akan semakin tinggi kandungan bahan organik.

Lain halnya dengan kandungan C, kandungan unsur N, dan senyawa P2O5 dan K2O justru dibatasi tidak boleh lebih dari 6%. Pernyataan tidak boleh melebihi 6% tidak jelas alasannya, karena biasanya yang dibatasi adalah kandungan minimumnya dan dibiarkan tidak ada batas atasnya. Hal tersebut terkait dengan penyediaan unsur N, P dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Semakin besar kandungan unsur NPK dalam beberapa hal tentunya sangat baik bagi pemupukan.

Kandungan Bakteri Patogen

Nilai ambang kandungan fecal Coli dan Salmonella masing-masing adalah tidak boleh melebihi 100 MPN/gr. Bakteri Coli dan Salmonella adalah bakteri yang berasal dari saluran pencernaan manuasia dan hewan mamalia lainnya yang dapat menyebabkan sakit perut.

Keberadaan kedua bakteri tersebut mengindikasikan bahwa material tersebut tercemar oleh material fekal (kotoran). Oleh karena bahan baku pupuk organik granul biasanya adalah kotoran hewan, maka kemungkinan pupuk organik granul yang diproduksi juga mengandung bakteri patogen tersebut. Jika kedua macam bakteri tersebut terdeteksi dalam jumlah yang banyak, kemungkinan besar material tersebut juga tercemar oleh jenis bakteri patogen lainnya.

Kandungan bakteri patogen dapat diminimalisir atau dibasmi dengan proses komposting aerobik yang terkendali. Dalam proses komposting aerobik akan terjadi efek pasteurisasi selama beberapa hari yang dapat mematikan bibit-bibit penyakit patogen.

Tabel Kriteria POG menurut Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009

Jumat, 25 Juni 2010

Segera Terbit: : BUKU KOMPOSTING DAN BUDIDAYA JAHE MERAH SKALA RUMAH TANGGA

Alkhamdulillah, syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tiada habisnya sehingga buku berjudul Komposting dan Budidaya Jahe Merah dapat segera terbiit. Buku ini merupakan buku praktis yang berisi tentang praktik pengelolaan sampah rumah tangga menjadi kompos dan penggunaannya untuk budidaya jahe merah serta pengolahannya menjadi minuman herbal nan menyehatkan yang skalanya adalah rumah tangga.

Buku ini terdiri atas enam bab. Bab Pertama merupakan bab pembuka yang menguraikan tentang hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan komposting dan budidaya jahe merah skala rumah tangga di suatu wilayah pemukiman. Berbagai tahapan kegiatan diuraikan mulai dari tahap sosialisasi kegiatan, pelatihan, pembuatan kompos, budidaya jahe merah sampai pengolahan pasca panennya. Hal tersebut didahului dengan kerangka konsep kegiatan yang mengintegrasikan teknologi tepat guna berupa komposting skala rumah tangga, budidaya jahe merah dan pengolahan jahe merah menjadi minuman atau makanan herbal. Dalam bab ini juga diulas tentang kerjasama antar pemangku kepentingan dan pembentukan forum pencinta tanaman obat keluarga (TOGA) Indonesia. Bab ini menjadi pembuka bab-bab selanjutnya yang lebif bersifat teknis.

Bab selanjutnya, Bab Kedua intinya berisi tentang tata cara membuat kompos skala rumah tangga. Kompos yang dibuat berasal dari sampah dapur dan halaman rumah. Bab ini diawali dengan uraian sepintas tentang proses komposting dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Uraian tentang hal tersebut dapat kita praktekkan di rumah hingga didapatkan produk kompos. Hasil komposnya dapat digunakan untuk bahan dasar media tanam jahe merah atau media tanaman lainnya. Jika jumlahnya berlebih, kompos dapat dikemas untuk dijual.

Bab Ketiga berisi tentang bagaimana budidaya jahe merah di lingkungan sekitar rumah dengan halaman yang sempit. Uraian tentang hal tersebut didahului dengan pengenalan tanaman jahe, kemudian diikuti dengan tata cara membudidayakannya yang meliputi pemilihan bibit jahe merah; pembuatan media tanam dalam polybag; dan tata cara penyiraman pemupukan, pembumbunan, dan pengendalian hama dan penyakit. Uraian singkat tersebut dapat menjadi pedoman kita membudidayakan jahe merah di rumah bersama dengan jenis tanaman lainnya.

Sedangkan bab keempat berisi tentang kegiatan pasca panen jahe merah yang meliputi tata cara pemanenan jahe merah; penyortiran, pencucian dan penirisan; pengemasan dan penyimpanan rimpang utuh; perajangan, pengeringan dan pengemasan; dan tentang standar mutu jahe. Uraian tentang kegiatan tersebut memberi bekal kepada kita apabila jahe yang kita budidayakan dan dipanen jumlahnya banyak sehingga perlu pengetahuan bagaimana mengelolanya dan menyimpannya.

Selanjutnya, bab kelima berisi tentang berbagai macam resep makanan dan minuman berbahan dasar jahe merah yang beredar di pasaran seperti serbuk jahe merah instan, ‘bir’ pletok, jus herbal jahe merah, asinan jahe merah, dan sebagainya. Berdasarkan resep-resep tersebut kita dapat membuatnya secara mudah dari jahe merah yang ditanam sendiri di halaman rumah. Hasilnya dapat dikonsumsi sendiri atau dijual untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

Terakhir, bab keenam adalah bab penutup yang berisi tentang profil Kampung Rawajati, kampung nan hijau dan bersih di tengah Kota Jakarta di mana kegiatan komposting dan budidaya jahe merah dilakukan serta masyarakatnya telah mengolahnya menjadi berbagai macam produk yang bernilai ekonomi tinggi. Kita dapat mengambil pengalaman kampung tersebut bagaimana gerakan penghijauan skala rumah tangga dilakukan, pengelolaan sampah mandiri, dan budidaya TOGA, untuk direplikasi di lingkungan tempat kita bermukim.

Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Kardono yang telah mendorong diterbitkannya buku ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Djoko Heru Martono, Bapak Henki Sutanto, Bapak Samsuhadi, Bapak Suprapto, Ibu Ery, Bapak Kusno Wibowo dan Bapak Sarkiwan dari BPPT; dan Bapak Supardi dan Bapak Awarso dari Rawajati; serta seluruh warga Kampung Rawajati (Jakarta Selatan) yang telah mensukseskan kegiatan komposting dan budidaya jahe merah yang kemudian dibukukan dalam buku ini.

Akhirnya demi penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang, dengan segala kerendahan hati, kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang sifatnya membangun. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kamis, 24 Juni 2010

Membasmi Bibit Penyakit Pathogen Melalui Komposting

Proses komposting aerobik dapat menghasilkan suhu lebih dari 70oC dalam waktu yang relatif lama sehingga menimbulkan efek seperti proses pasteurisasi yang dapat mereduksi atau membasmi patogen, parasit, dan bibit gulma. Suhu tinggi yang dihasilkan tersebut terjadi secara alamiah sebagai hasil dari reaksi eksotermis degradasi materi organik dalam kondisi aerobik. Hal tersebut biasanya terjadi pada minggu-minggu awal proses komposting. Suhu tumpukan dapat dipertahankan sekitar 50oC selama satu bulanan. Suhu tertinggi yang dapat dicapai sekitar 75oC.

Untuk menjaga agar suhu tinggi dapat bertahan dalam waktu beberapa hari atau minggu, kondisi komposting harus dikendalikan dengan baik. Pengendalian itu mencakup sistem aerasi yang baik, ketersediaan nutrien yang cukup, dan kelembaban yang sesuai dengan sistem komposting. Sistem aerasi yang baik dapat didukung dengan memanfaatkan porositas bahan, terowongan angin dibawah tumpukan, dan pembalikan tumpukan yang reguler.

Ketersediaan nutrien dapat dicukupi dengan mengatur rasio karbon dan nitrogen (C/N ratio) limbah yang dikomposkan. Sedangkan kelembaban limbah dapat diatur dengan banyaknya air yang disiramkan ke limbah yang sedang dikomposkan. Faktor-faktor tersebut merupakan kunci penentu pencapaian suhu tinggi dan selang waktu pengeksposan yang cukup lama sehingga patogen dapat direduksi atau dibasmi.

Di Amerika Serikat terdapat regulasi yang mensyaratkan adanya tingkat minimal suhu yang harus dicapai selama proses komposting dan lamanya waktu pengeksposan terhadap suhu tersebut sehingga patogen di dalam limbah dapat direduksi atau dibasmi. Regulasi sistem komposting yang aman dari patogen dituangkan dalam regulasi yang dikenal dengan istilah Processes to Further Reduce Pathogens (PFRPs) (Epstein, 1997). Untuk komposting aerobik di dalam reaktor tertutup atau sistem tumpukan statik yang teraerasi, minimal suhu yang harus dicapai adalah 55oC dan dijaga keberlangsungannya selama tiga hari berturut-turut.

Sedangkan untuk sistem windrow, suhu minimal yang harus dicapai adalah sama, hanya saja waktunya harus lebih lama, yaitu 15 hari. Dalam periode tersebut pembalikan dilakukan sedikitnya 5 kali. Sementara produk komposnya harus masuk ke kelas A dimana kepadatan fecal coliform harus lebih kecil dari 1000 MPN per gram total berat kering padatan, atau kepadatan Salmonella sp. lebih kecil dari 3 MPN per 4 gram total berat kering padatan.

Rabu, 23 Juni 2010

Hati-hati, di Sampah ada Penyakit!

Menumpuknya sampah dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit, mulai dari penyakit ringan hingga yang berbahaya. Keberadaan bibit penyakit di dalam sampah biasanya berasal dari tercemarnya sampah oleh feses (kotoran) manusia maupun ternak, atau karena vektor serangga pembawa penyakit yang bersarang di dalamnya. Sampah yang tercemar feses manusia dan hewan ternak dapat menjadi sumber penyakit menular atau sumber patogen yang terdiri atas bakteri, virus, protozoa, dan helminth atau cacing. Penyakit-penyakit yang diakibatkannya antara lain diare, disentri, kolera, tifus, hepatitis, taeniasis, dsb.

Di dalam sampah, berbagai jenis patogen tersebut biasanya dapat hidup antara 5 – 100 hari tergantung dari kondisi lingkungan yang mempengaruhinya, misalnya suhu lingkungan, pH, kelembaban, dsb. Sebagai contoh, bakteri E. coli dapat hidup 50 – 90 hari dalam sampah berlumpur pada suhu 20 – 30oC. Untuk beberapa jenis cacing dapat bertahan lama di sampah. Telur cacing perut Ascaris lumbricoides, misalnya dapat hidup beberapa bulan di sampah. Sebagian besar jenis penyakit yang ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari feses manusia adalah penyakit perut seperti diare, disentri, dan kolera.

Di musim penghujan tingkat pertumbuhan kuman dan risiko penyakit yang ditimbulkan dari sampah biasanya meningkat. Kuman yang seharusnya bisa mati oleh sinar matahari, di musim penghujan tidak mati, justru terbawa air hujan hingga ke sungai, dan selokan. Warga yang tinggal di hilir sungai harus lebih waspada karena di situlah segala bakteri dan virus berkumpul.

Sementara itu, beberapa jenis vektor penyakit yang biasa hidup di sampah adalah nyamuk, lalat, pinjal dan tungau. Nyamuk yang menjadi vektor penyakit penting di Indonesia adalah dari genus Culex (penyebab penyakit filariasis), Anopheles (penyebab penyakit malaria) dan Aedes (penyebab penyakit demam berdarah). Lalat yang biasa menjadi vektor adalah Musca domestica dengan membawa berbagai jenis kuman seperti Vibrio cholerae yang menyebabkan penyakit kolera.

Tikus yang bersarang di tempat sampah juga dapat menjadi penyebar penyakit pes. Penyakit pes disebabkan oleh bakteri Pasteurella pestis yang hidup di pinjal Xeopsylla cheopsis. Pinjal tersebut hidup dipermukaan tubuh tikus dengan menghisap darahnya. Sementara itu kucing dan anjing liar yang mengais-ngais makanan di tempat-tempat penampungan sampah juga dapat menjadi penyebar penyakit toxoplasmosis dan cacing.

Membakar Sampah, Membahayakan Diri dan Lingkungan Kita

Salah satu kebiasaan masyarakat dalam menangani sampah adalah dengan membakarnya. Di lokasi pemukiman, biasanya sampah yang tidak terangkut dibakar di sudut-sudut pekarangan entah itu pada pagi atau malam hari. Pembakaran sampah sebenarnya membahayakan kesehatan orang-orang yang berada di sekitarnya. Bahaya tersebut biasanya diitimbulkan oleh adanya emisi gas dan partikel debu. Gas-gas berbahaya yang ditimbulkan oleh pembakaran sampah antara lain adalah gas karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), Dioxin dan Furan. Menurut Slamet, J.S (1997) efek dari gas-gas hasil pembakaran sampah adalah sebagai berikut.

CO terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna. Ketika terhirup, CO dapat bereaksi dengan hemoglobin di dalam darah membentuk karboksihemoglobin (HbCO). Badan manusia tidak dapat membedakan mana HbCO dan oksihemoglobion (HbO2), yang secara normal mentransfer O2 ke jaringan sel di badan. Hemoglobin yang semestinya mengangkut dan mengedarkan oksigen keseluruh tubuh berubah fungsinya menjadi pembawa CO sehingga tubuh akan kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen dalam dosis rendah akan menyebabkan sakit kepala dan kematian dalam dosis tinggi.

NOx yang paling berpengaruh pada lingkungan adalah NO (nitrogen monoksida) dan NO2 (nitrogen dioksida). Nitrogen oksida adalah prekursor pembentukan ozon (O3) dan peroksisetal nitrat yang dapat mengakibatkan smog (kabut asap). Nirogen oksida juga berkontribusi dalam pembentukan aerosol nitrat yang dapat mengakibatkan kabut dan hujan asam. NO2 termasuk gas yang toksik terhadap manusia.

Sementara itu, SO2 merupakan gas yang dapat menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan. Dalam konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan kematian bagi penderita penyakit asma atau bonkhitis. SO2 juga sebagai salah satu penyebab hujan asam.

Apabila sampah yang dibakar bercampur dengan bahan-bahan sintetis, gas yang dihasilkan menjadi semakin berbahaya. PVC dalam pembungkus kabel, kulit sintetis dan lantai vinil misalnya, mengandung senyawa berbahaya yang mengandung khlor. Pembakaran bahan tersebut akan menghasilkan gas HCL yang korosif. Pembakaran tersebut juga akan menghasilkan dioksin. Racun udara dioksin dengan jelas memperlihatkan efek kesehatan terhadap binatang percobaan seperti pada gangguan fungsi daya tahan tubuh, kanker, perubahan hormon, dan pertumbuhan yang abnormal.

Dioksin adalah istilah yang umum dipakai untuk salah satu keluarga bahan kimia beracun yang mempunyai struktur kimia yang mirip serta mekanisma peracunan yang sama. Keluarga bahan kimia beracun ini termasuk tujuh Polychlorinated Dibenzo Dioxins (PCDD); dan duabelas Polychlorinated Dibenzo Furans (PCDF). PCDD dan PCDF bukanlah produk kimia yang dikomersilkan, tetapi produk sampingan yang secara tidak sengaja terjadi didalam banyak proses pembakaran dan beberapa proses industri kimia.

Pengukuran emisi dari pembakaran sampah rumah tangga di dalam sebuah drum telah dilakukan di Amerika. Hasil pembakaran dalam percobaan ini dibandingkan dengan hasil pembakaran dari incinerator terkendali yang melayani puluhan ribu sampah rumah tangga. Ternyata dari pembakaran rumah tangga tersebut dihasilkan senyawa dioksin dalam jumlah yang jauh lebih besar.

Dioksin bersifat persisten dan terakumulasi secara biologi dan tersebar didalam lingkungan dalam konsentrasi yang sangat rendah. Dioksin termasuk kedalam kelas bahan yang bersifat karsinogen (yang menyebabkan kanker). Efek samping dioksin terhadap binatang adalah perubahan sistim hormon, perubahan pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan penekanan terhadap sistim kekebalan tubuh. Efek samping dioksin terhadap manusia adalah perubahan kode keturunan (marker) dari tingkat pertumbuhan awal dari hormon. Pada dosis yang lebih besar bisa mengakibatkan sakit kulit yang serius yang disebut chloracne.

Selain itu, bahan sintetis yang mengandung nitrogen akan menghasilkan senyawa berbahaya lain. Nitrogen terdapat dalam bahan sintetis seperti nilon, dan busa poliuretan seperti yang terdapat dalam matras, sofa, dan karpet berbusa. Pada pembakaran di atas 600 oC, bahan sintetis yang mengandung nitrogen ini akan menghasilkan HCN, suatu gas sangat beracun. Sebaliknya, pembakaran sampah basah pada suhu kurang dari 600 derajat Celcius pun akan dihasilkan isosianat. Senyawa ini terkenal karena menyebabkan kecelakaan mengenaskan di Bhopal beberapa tahun silam.

Masalah lain dari sampah organik adalah kelembapannya sehingga sulit terbakar secara sempurna. Partikel-partikel yang tak terbakar akan terlihat sebagai awan dalam asap. Partikel lebih kecil dari 10 mikron dapat dihirup masuk ke paru-paru dan dapat mengganggu pandangan. Partikel-partikel tersebut dapat mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan seperti kadmium (Cd), khromium (Cr), mercury (Hg) dan timbal (Pb). Partikel debu seperti silika dapat bersifat iritan dan menimbulkan fibrosis atau disebut pneumokoniosis. Partikel debu juga dapat menimbulkan peradangan sehingga timbul granuloma.

Pembakaran sampah dengan incinerator yang berkapasitas kecil (kurang dari 20 ton perhari) juga mempunyai masalah yang mirip dengan pembakaran biasa. Dari evaluasi kinerja berbagai incinerator kecil yang terpasang di DKI Jakarta oleh P3TL-BPPT disebutkan bahwa hampir semua incinerator menghasilkan partikulat melebihi ambang batas ( 50 mg/m3). Sementara itu logam berat yang yang terkandung dalam asap dan ditangkap oleh water scrubber pada sebagian besar incinerator juga melebihi ambang batas terutama untuk logam berat air raksa, sianida, timbal dan kadmium. Saat ini di Jakarta terpasang 21 unit incinerator skala kecil yang tersebar di berbagai wilayah

Senin, 21 Juni 2010

Pelatihan Produksi Pupuk Organik Granul

Keberlanjutan produksi POG antara lain ditentukan oleh jaminan kualitas produk POG. Kriteria POG yang baik dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. Berdasarkan Permentan tersebut, beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam POG antara lain adalah rasio C/N, kandungan bahan ikutan, kandungan unsur mikro, kandungan organisme patogen, kandungan organik, dan kadar air.

Para produsen POG harus memperhatikan kriteria-kriteria tersebut karena sewaktu-waktu tim independen dari Departemen Pertanian akan mengambil sampel POG. Apabila tidak sesuai dengan kriteria, pembelian POG dapat dianulir. Kalau penganuliran terjadi, maka produsen POG alangkah meruginya. Hal tersebut hendaknya menjadi perhatian serius para produsen POG karena kontrol akan lebih ketat dilakukan oleh Departemen Pertanian. Bagi para pendatang baru di dunia pupuk, diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk memproduksi POG yang sesuai dengan kriteria. Sayangnya media untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan tersebut masih sangat terbatas.

Terkait dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan produksi POG, penulis blog ini (Sri Wahyono, S.Si, M.Sc) dan Ir. Firman L Sahwan, M.Si, pada pertengahan Juni lalu diundang oleh PT Surya Agro Makmur untuk memberikan pembekalan pengetahuan dan keterampilan pada suplaier bahan baku POG dan produsen POG di wilayah Boyolali, Pati, Sukoharjo, dan Wonogiri. Kami berdua merupakan peneliti dan praktisi produksi pupuk organik yang telah menerjuni bidang tersebut sejak 20 tahun yang lalu. Saat ini kami bekerja di Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT.

Pelatihan dilakukan di Pabrik POG di Boyolali dengan peserta berjumlah lebih dari 25 orang. Pelatihan dilakukan selama sehari dengan materi antara lain berupa: ilmu dasar komposting; prosedur standar komposting berbahan baku kohe dan blotong sebagai bahan baku POG; prosedur standar produksi POG; dan pemahaman kriteria POG sesuai Permentan No. 28. Materi pelatihan tersebut mendapatkan perhatian yang serius dari para peserta karena banyak hal yang bersifat baru dan berbeda dari yang selama ini mereka pahami. Dua materi pertama lebih diperuntukan kepada para memasok bahan baku POG, sedangkan tiga materi berikutnya diperuntukkan untuk produsen granul.

Kami berharap bekal ilmu dan keterampilan yang kami sampaikan dapat bermanfaat bagi peningkatan produksi POG yang berkualitas dan sesuai dengan kriteria Permentan No. 28.

Bisnis Pupuk Organik Granul dan Pendukungnya

Pada tiga tahun terakhir ini, di Indonesia telah berdiri sejumlah pabrik pupuk organik granul (POG). Kemunculan pabrik-pabrik POG tersebut ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan. Baik di Jawa bagian barat, tengah, maupun timur, serta di Sulawesi dan Nusa Tenggara telah berdiri puluhan pabrik POG. Berdirinya pabrik-pabrik tersebut dipicu oleh adanya kebutuhan akan ribuan ton POG yang disalurkan kepada petani oleh Departemen Pertanian dalam rangka program ‘Go Organic’.

Sebagai contoh, pada tahun 2009 yang lalu dibutuhkan sekitar 450.000 ton POG. Untuk itu ditunjuklah beberapa BUMN untuk menyediakannya. Untuk tahun 2010, ini ada lima Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Pusri, PT Pertani Persero, PT Sang Hyang Seri, PT Berikari Persero, dan PT. Petroganik yang ditunjuk untuk menyediakan POG. Mereka kemudian menenderkannya kepada puluhan perusahaan pupuk organik baik yang baru berdiri maupun yang telah punya pengalaman dalam granulasi pupuk.

Umumnya para pemenang tender kemudian berkongsi dengan para produsen pupuk organik yang kemudian secara bersama-sama mensuplai POG sesuai dengan kriteria Peraturan Menteri Pertanian No. 28 Tahun 2009. Peluang ini kemudian dimanfaatkan baik oleh UKM maupun perusahaan yang bermodal kuat di masing-masing wilayah untuk ikut berbisnis POG bersama-sama dengan pemenang tender. Pabrik-pabrik tersebut sebagai contoh berada di Sukabumi, Cirebon, Banyumas, Boyolali, Rembang, Pasuruan, Sidrap, dan sebagainya.

Umumnya pabrik-pabrik POG berdiri di wilayah yang dekat dengan sumber bahan baku seperti peternakan dan pabrik gula. Kelancaran produksi POG sangat ditentukan oleh suplai bahan baku. Bahan baku POG dapat berupa berupa kompos atau kotoran hewan (kohe) dan blotong (dari pabrik gula) yang telah lapuk, ditambah dengan material lainnya seperti dolomit, fosfat alam, dan mikroba fungsional. Dolomit dan fosfat alam berfungsi sebagai filler, sedangkan miroba fungsional berfungsi sebagai pengaya POG sehingga mengandung mikroba bermanfaat seperti mikroba penambat N, pelarut P, dan sebagainya.

Dengan adanya kebutuhan akan kohe dan blotong di pabrik POG, maka kohe dan blotong yang tadinya kurang laku menjadi material yang diperebutkan oleh pabrik POG. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi para peternak dan pabrik gula yang saat ini memiliki peran sebagai pamasok bahan baku POG. Limbah yang tadinya kurang termanfaatkan, sekarang menjadi barang dagangan yang menguntungkan.

Limbah yang tadinya mencemari lingkungan berubah menjadi bahan yang dibutuhkan sehingga pencemaran lingkungan yang diakibatkannya dapat dicegah atau menjadi berkurang. Kohe dan blotong telah didaur ulang manjadi produk bernilai tinggi: POG.

Selain bisnis jual-beli bahan baku POG, berkembang pula bisnis pengadaan peralatan produksi POG. Bengkel-bengkel peralatan pertanian sekarang ini banyak menerima pesanan berbagai peralatan yang dibutuhkkan seperti pan granulator, rotary drier, rotary cooler, rotray screen, mixer, dan sebagainya. Satu line produksi POG biasanya memerlukan peralatan yang harganya mencapai 300 jutaan. Satu line tersebut biasanya meliputi 2 buah pan granulator, 1 rotary screen, 1 rotary cooker, 1 mixer, dan 1 rotary screen. Bengkel-bengkel penyedia peralatan tersebut tersebar di beberapa daerah seperti Tangerang, Surabaya, dan sebagainya.

Satu lagi pihak yang diuntungkan dengan adanya pertumbuhan pabrik POG yaitu para produsen mikroba fungsional yang dipergunakan untuk memperkaya POG. Paket-paket pesanan bibit mikroba mereka terima dari pabrik POG.

Demikianlah perkembangan bisnis POG dan bisnis ikutannya. Anda ingin mengikutinya?

Awas, Banyak Racun di Rumah Kita

Di era informasi yang serba canggih ini belum banyak orang yang mengetahui bahwa sebagian dari produk-produk kimia yang biasa dipakai di rumah, seperti pengharum ruangan, pembersih lantai dan kaca, pembasmi insekta atau pestisida, obat anti nyamuk, produk beraerosol, dan desinfektan, termasuk dalam kategori bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Ketidaktahuan tersebut memang sangat beralasan karena informasi tentang hal itu sangatlah kurang. Masyarakat justru dijejali dengan informasi, terutama lewat iklan-iklan, bahwa penggunaan produk-produk kimia itu ‘aman’ dan ‘ramah lingkungan’. Padahal produk-produk tersebut belum tentu aman bagi kesehatan dan ramah bagi lingkungan karena mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3), yang bisa jadi mudah meledak, mudah terbakar, reaktif, beracun, iritan, radioaktif, karsinogenik, mutagenik, atau teratogenik.

Informasi gencar yang cenderung manipulatif dari produsen produk kimia melalui media iklan baik di media cetak maupun elektronik telah membawa masyarakat pada pemahaman bahwa produk-produk tersebut aman-aman saja ketika dipakai. Akibatnya kepedulian masyarakat akan keberadaannya di rumah sangatlah kurang dan sikap kehati-hatian dalam penggunaannya cenderung jor-joran, penyimpanannya sembrono dan pembuangannya tidak mengindahkan keselamatan lingkungan.

Lemahnya kepedulian masyarakat akan keberadaan produk-produk kimia berbahaya ditunjukkan dengan membiarkan rumahnya ditelikung oleh produk-produk tersebut. Hampir setiap ruangan rumah modern, entah itu ruang tamu, garasi dan gudang, kamar tidur, dapur, ataupun kamar mandi, dapat ditemukan di sana atau dapat ditelusuri jejak-jejak penggunaan produk-produk kimia yang mengandung B3 seperti pengharum ruangan, pengkilap furnitur, pembersih lantai dan kaca, baterei atau accu kendaraan, cat, thinner, lem, racun insekta atau pestisida, kamfer, obat anti nyamuk, obat-obatan, produk beraerosol, desinfektan, cairan pembuka saluran air kotor, hair spray, pewarna rambut, pembersih toilet, cairan pemutih, deterjen, bahan pencelup, dsb.

Budaya serba instan dari masyarakat masa kini juga mendukung meningkatnya penggunaan produk-produk tersebut. Masyarakat inginnya setiap permasalahan di tempat hunian tertangani secara mudah dalam waktu sekejap dan dengan jelinya produsen kimia memanfaatkannya, misalnya bau apek cukup dihilangkan dengan produk pengharum dan gangguan serangga cukup ditangani dengan produk insektisida.

Hunian yang ditelikung oleh produk-produk kimia tentu saja menjadi tidak sehat sehingga dapat membuat sakit penghuninya baik itu bersifat akut atau kronis. Efek yang langsung terasakan atau akut dapat berupa keracunan, pusing-pusing, rasa mual, atau luka-luka yang langsung terjadi ketika terkena produk kimia. Sedangkan efek kronis dapat terjadi ketika tubuh terekspos secara terus-menerus terhadap produk seperti larutan pembersih otomotif, pengharum ruang, cat, atau pestisida. Senyawa kimia yang dikandungnya dapat terakumulasi di jaringan tubuh mengakibatkan kerusakan hati, ginjal, sistem syaraf pusat, kanker, paralisis, kemandulan, dan melemahnya fungsi kekebalan tubuh.

Senyawa kimia beracun, yang terakumulasi pada jaringan tubuh, dapat masuk melalui tiga cara yaitu yaitu termakan atau terminum bersama makanan atau minuman yang tercemar, terhirup dalam bentuk gas dan uap, termasuk yang langsung menuju paru-paru lalu masuk ke dalam aliran darah, dan terserap melalui kulit dengan atau tanpa terlebih dahulu menyebabkan luka pada kulit.

Berbagai Produk B3 di Rumah Kita dan Bahayanya

Beberapa produk kimia, seperti pestisida pembunuh serangga, yang masuk secara oral ke dalam tubuh, secara langsung dapat mengakibatkan ajal seketika sehingga tidak heran jika produk-produk tertentu sering disalahgunakan untuk bunuh diri. Di AS, pada tahun 1997, kasus bunuh diri dengan menenggak cairan pestisida mencapai korban 42 jiwa. Pestisida telah terbukti menyebabkan banyak penyakit seperti sakit kepala, mual-mual, kesensitifan terhadap zat kimia, problema pernafasan, kerusakan genetik, kecacatan lahiriah, polusi lingkungan, polusi air, dan kanker.

Sedangkan produk-produk kimia yang mengeluarkan uap atau gas juga kadang-kadang disalahgunakan untuk fly atau dikenal dengan istilah ngelem yaitu memabukkan diri dengan menghirup gas hidrokarbon atau fluorokarbon, yang biasa dikandung oleh lem merek tertentu. Di AS, korban jiwa akibat ngelem tercatat mencapai 48 jiwa pada tahun 1997. Di Indonesia, jumlah korban kematian akibat ngelem tidak terdata tetapi mungkin jumlah korbannya lebih banyak dari AS karena sering terlihat anak-anak muda jalanan memakainya ketika uang dikoceknya tidak cukup untuk membeli narkoba.

Di rumah, selain lem, terdapat produk-produk lain yang berefek sama ketika terhirup terus-menmerus yaitu cairan tip-ex, gas pendingin AC, cairan spidol, cat semprot, pengharum ruangan, penghilang cat kuku, dan pembersih tape head. Efek kronis dari menghisap gas hidrokarbon atau fluorokarbon antara lain adalah sindrom kematian mendadak, tenggorokan terasa tercekik, dan kerusakan pada hati, paru-paru, syaraf otak, ginjal, atau sumsum tulang belakang.

Fakta membuktikan bahwa produk-produk kimia yang mengeluarkan gas atau uap memperburuk kualitas udara di rumah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization tahun 1984, hampir 30 persen dari tempat tinggal di seluruh dunia kualitas udaranya buruk. Bahkan disinyalir polusi udara di dalam rumah 25 kali (kadang kadang 100 kali) lebih tinggi dari polusi udara di sekitar kawasan industri, akibat lepasnya senyawa-senyawa kimia dari obat anti nyamuk, pengharum ruangan, cat, larutan dry cleaning, pestisida, particle board, dan gas elpiji ke udara (US EPA, 1993). Polusi tersebut menurut artikel "Indoor Air Pollution in Massachusetts" tahun 1989, merupakan penyebab dari 50 persen penyakit yang diderita penduduk Amerika Serikat.

Sebagai contoh, racun yang terdapat pada obat anti nyamuk dan pengharum ruangan dapat menyebar ke segala penjuru dan menempel di mana-mana. Beberapa merek obat anti nyamuk mengandung bahan aktif antara lain dichlorovynil dimethyl phosfat (DDVP), propoxur (karbamat) dan diethyltoluamide yang sejak puluhan tahun lalu telah dilarang penggunaannya di dunia karena diduga kuat sebagai zat karsinogenik. Sementara itu sebagian produk-produk pengharum ruangan, menurut The National Academy of Sciences, AS (1986) kebanyakan bekerja dengan mengganggu daya cium dengan cara melapisi saluran hidung dengan selaput minyak yang mengandung racun.

Penggunaan produk beraerosol, biasanya berupa produk semprot, menurut penelitian Children of the 90s pada Universitas Bristol, menyebabkan tingginya volatile organic compounds (VOCs) di rumah. Penggunakan aerosol sehari-hari seperti semir, deodorant dan hairspray dapat meningkatnya resiko diare hingga 30 persen pada bayi, sakit kepala 10 persen dan 16 persen depresi pada ibu.

Polusi udara di rumah akan semakin meningkat apabila di dalam rumah lantainya berlapis karpet karena karpet merupakan reservoar debu terbesar di rumah yang dapat mengandung timbal, polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), pestisida, dan polychlorinated bi-phenols (PCB) yang berasal dari abu dan asap rokok atau aktivitas masak, bahan pembunuh nyamuk, semut dan kecoa, dan pestisida tanaman. Kandungan debu karpet demikian besar sehingga menurut Robert Lewis, pakar di US Environmental Protection Agency, untuk kebersihannya, karpet mesti dibersihkan 25 kali dalam seminggu!

Polusi-polusi tersebut di atas mempengaruhi seluruh penghuni rumah dengan resiko tertinggi pada anak-anak, orang lanjut usia, ibu hamil dan bayinya. Anak-anak memiliki resiko terekspos ‘debu beracun’ di rumah lima kali lipat orang dewasa berdasarkan bobot tubuhnya. Anak-anak juga rentan karena sistem imunisasi tubuh mereka belum berkembang secara penuh sampai usia enam tahun, dan ginjal mereka belum mampu memproses racun sebaik ginjal orang dewasa. Ibu yang mengandung harus menghidupi dua jiwa, yang menyebabkan ia lebih peka terhadap penyakit; sedangkan bayi yang dikandungnya sedang dalam tahap perkembangan. Orang tua, pada sebaliknya, mengalami penurunan sistem imunisasi tubuh, yang menyebabkan mereka lebih peka terhadap polusi dibanding orang usia menengah.

Menyimpan Produk B3 di Rumah secara Aman

Mengingat produk-produk kimia rumah tangga membahayakan kesehatan penghuni rumah maka sebaiknya masyarakat harus hati-hati menggunakannya. Bila memungkinkan, produk-produk tersebut diganti dengan bahan lain yang tidak berbahaya. Misalnya, semprotan aerosol diganti dengan semprotan non aerosol. Sementara itu, untuk membersihkan saluran air kotor dapat dengan cara menggelontornya dengan air mendidih atau campuran baking soda dan setengah cangkir cuka setiap minggu. Untuk mengkilapkan furnitur dapat menggunakan campuran minyak lemon dan minyak nabati.

Apabila terpaksa harus memakainya maka sebaiknya produk yang dipakai adalah yang paling ringan bahayanya. Sebaiknya jangan terkecoh dengan produk yang menyatakan dirinya aman dan ramah lingkungan. Tingkat bahaya produk kimia dapat dilihat dari labelnya yaitu apabila bergambar tengkorak berarti tingkat bahayanya kategori I, berlabel ‘warning’ (awas bereacun) kategori II, dan ‘caution’ (hati-hati) kategori III. Produk seabaiknya digunakan sehemat mungkin sesuai petunjuk pemakaian sampai habis. Bila produk masih ada namun kita tidak ingin memakainya lagi seabiknya diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya.

Bahan-bahan beracun termasuk sabun deterjen, obat-obatan, dan bahan-bahan kimia (seperti pestisida dan pembersih) disimpan dalam lemari khusus yang tidak mudah dijangkau anak-anak dan tidak langsung kena sinar matahari dan hujan. Menurut Litovitz et.al (1998), produk–produk yang umumnya meracuni anak-anak balita di AS adalah produk kosmetik (146.661 kejadian pada tahun 1997), produk pembersih (129.346 kejadian), pestisida (29.771 kejadian), dan antimikrobial (40.546 kejadian).

Minggu, 20 Juni 2010

Mendaur Ulang Sampah di Rumah

Kegiatan pertama mendaur ulang atau recycling adalah pemilahan sampah menurut jenisnya, sampah basah dan sampah kering. Yang dimaksud sampah basah adalah sampah organik yang berasal dari dapur (seperti kulit buah-buahan, sisa sayuran, dan sisa makanan) dan kebun (seperti sampah daun, potongan rumput, potongan tanaman hias, dsb.). Sedangkan yang disebut sampah kering adalah kertas bekas, sampah plastik, kaleng, botol kaca, dsb. Sampah basah dan sampah kering yang telah terpilah sebaiknya ditempatkan pada wadah yang berbeda untuk didaurulang. Daur ulang sampah di tingkat rumah tangga secara teknis mudah dilakukan karena caranya praktis, tidak ruwet, gampang, dan teknologi yang dipergunakan adalah teknologi tepat guna yang dapat dilakukan oleh siapapun dengan peralatan yang mudah didapatkan. Sampah basah atau sampah organik yang telah terpilah kemudian dikomposkan. Teknik pengkomposan sampah rumah tangga meliputi pengkomposan secara aerobik di dalam komposter (composter), pengkomposan secara anaerobik di dalam galian tanah tertutup, dan pengkomposan dengan cacing (vermicomposting). Pengkomposan secara aerobik adalah pengkomposan di dalam wadah terbuka yang memungkinkan udara masuk ke dalamnya. Hal itu dapat dilakukan di dalam komposter yang terbuat dari wadah-wadah bekas seperti ember, kotak kayu, atau drum bekas. Caranya, sampah organik sebelum dimasukan ke komposter dicacah terlebih dahulu. Cacahan sampah dimasukan ke dalam komposter setiap hari secara berlapis-lapis, bila perlu bersama-sama dengan campuran kapur, kotoran ternak dan tanah subur. Proses pengkomposan berlangsung selama lebih dari 3 bulan. Sementara itu, pengkomposan dengan cara anaerobik, tanpa udara, dilakukan di dalam galian tanah tertutup sehingga oksigen tidak bisa masuk. Proses pengkomposan cara ini lebih lama dari cara aerobik. Sedangkan pengkomposan dengan cacing atau vermicomposting menggunakan cacing sebagai mesin biologis pengurai sampah. Cacing dari jenis Lumbricus rubellus atau Peretima diternakkan di dalam media sampah selama satu bulan lebih sebelum kompos dapat dipanen. Kompos dari proses aerobik, anaerobik, atau vermicomposting yang dihasilkan di rumah kita dapat digunakan sendiri untuk pupuk tanaman hias, tanaman bunga, tanaman obat-obatan dan buah-buahan. Lain halnya dengan sampah dapur atau kebun, walaupun tergolong jenis organik, sampah kertas (kertas koran, HVS, folio, dsb.) lebih cocok dimanfaatkan sebagai bahan penyekat telor dan buah-buahan, dan art paper (kertas seni). Kertas seni dibuat melalui proses manual melalui cara dibuburkan terlebih dahulu kemudian dicampur dengan lem dan dilaburkan melalui screener sehingga terbentuk lembaran tipis. Setelah dikeringkan, dihasilkan lembaran-lembaran kertas artistik yang dapat digunakan sebagai pembungkus kado dan berbagai kerajinan seperti sampul buku, kartu ucapan, dsb. Jenis sampah kering seperti plastik, logam, dan gelas sebenarnya potensial untuk didaurulang, namun membutuhkan peralatan yang agak mahal serta pengerjaan yang lebih rumit sehingga lebih cocok dilakukan di skala yang lebih besar atau skala pabrik. Oleh karena itu sampah-sampah jenis ini dapat diserahkan kepada pemulung. Sedangkan residu sampah yang tidak dapat dikomposkan dan didaurulang seperti pampers, pembalut wanita, plastik pembungkus makanan ringan, dapat dibuang di tong sampah untuk dibawa ke tempat penampungan sampah sementara oleh petugas gerobak sampah, untuk kemudian diangkut dan dibuang di tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Demikianlah alur sikap dan tindakan peduli sampah di rumah. Apabila dihitung-hitung, jika sebuah keluarga melakukan kegiatan daur ulang pengkomposan saja, jumlah sampah yang dibuang akan tereduksi sampai lima puluh persen. Reduksi sampah akan semakin besar jika dibarengi dengan daur ulang kertas dan penerapan prinsip-pinsip reduce dan reuse seperti yang telah diungkapkan di atas. Selanjutnya, jika kegiatan ini diamalkan oleh setiap warga yang bermukim di perkotaan, maka problematika sampah akan sangat berkurang, transportasi sampah akan lebih efisien, dan umur TPA menjadi berlipat ganda. Rasanya, Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup akan lebih bermakna bila kita peduli sampah.

Guna Ulang Sampah di Rumah

Kegiatan reduksi sampah sebaiknya diikuti dengan tindakan di level berikutnya yaitu reuse atau menggunakan kembali. Dengan reuse maka barang-barang rumah tangga tertentu yang telah kita pakai tidak serta merta langsung dibuang menjadi sampah, tetapi kita pakai lagi. Contoh menggunakan kembali adalah pemakaian lap kain yang bisa dicuci untuk membersihkan meja makan, perlengkapan makan dan peralatan dapur. Pemakaian lap kain lebih berwawasan lingkungan daripada pemakaian lap yang sekali pakai, seperti lap kertas atau tissue. Kita juga tidak perlu malu mencuci wadah/botol minuman dan makanan untuk digunakan lagi. Selain itu, memperbaiki barang elektronik atau furnitur yang rusak juga termasuk dalam kategori reuse. Kadang-kadang jika kerusakannya ringan ongkosnya lebih murah daripada membeli yang baru. Barang elektronik sebaiknya jangan dibuang kalau tidak terpaksa sekali karena sampah elektronik termasuk barang yang beracun dan berbahaya sehingga dikategorikan sebagai B3. Sementara itu, pendonasian pakaian, boneka, atau perkakas lain yang masih layak pakai kepada yang membutuhkannya juga termasuk tindakan yang baik dalam kerangka reuse, termasuk membeli barang-barang rumah tangga second yang masih bagus dan berkualitas. Membeli barang second, kita tidak perlu malu melakukannya, toh demi kelestarian lingkungan, bukan demi gengsi kan?. Andai saja kegiatan reduce maupun reuse sudah mendarah daging pada setiap keluarga maka jumlah sampah rumah tangga akan dapat berkurang sekitar sepuluh sampai duapuluh persen.

Mencintai Bumi Melalui 3R di Rumah

Pada tanggal 22 April yang lalu masyarakat dunia merayakan Hari Bumi (the Earth Day) dan pada tanggal 5 Juni merayakan Hari Lingkungan Hidup sebagai bentuk kepedulian akan pentingnya kelestarian Bumi, satu-satunya tempat hidup dan sumber kehidupan bagi manusia, satwa, dan fauna. Seperti biasanya, ketuarentaan Bumi dan beban lingkungan akibat rakusnya pengeksploitasian sumber daya alam dan pencemaran limbah di darat, di laut, dan di udara, menjadi tema sentral perayaan lingkungan hidup di mana pun, tak terkecuali di Indonesia. Namun sayangnya, apabila dicermati, peringatan-peringatan yang biasa dilakukan sebagian bersifat seremonial belaka. Mestinya, peringatan tersebut tidak sekedar itu tetapi diikuti dengan program-program konkrit penyelamatan lingkungan sesuai dengan semangat dari dicanangkannya Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup. Sejatinya semangat perayaan lingkungan adalah segala tindakan nyata yang terkait dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tindakan tersebut tidak harus besar dan berbiaya wah, tetapi dapat berupa tindakan-tindakan ‘kecil’ keseharian kita. Sebagai contohnya adalah tindakan peduli sampah di rumah, yaitu suatu tindakan bagaimana kita mengelola sampah kita sendiri, oleh setiap anggota keluarga, di rumah sendiri. Kita tahu bahwa rumah tangga merupakan penghasil utama sampah perkotaan dan saat ini sampah perkotaan telah menimbulkan berbagai macam problematika lingkungan dan petaka. Peduli sampah di rumah adalah sebuah kepedulian akan pentingnya usaha meminimalisir atau mereduksi (reduce) jumlah sampah rumah tangga, menggunakan kembali (reuse) material-material yang masih dapat dimanfaatkan, dan pentingnya merubah pandangan bahwa sampah bukan semata-mata barang buangan yang tidak berguna, tetapi merupakan bahan baku yang dapat didaur ulang (recycle) menjadi produk yang bermanfaat. Ketiga jenis tindakan tersebut dikenal dengan 3R (reduce, reuse, dan recycle). Jika distratakan, maka R level pertama pada 3R adalah reduce, level kedua reuse, dan level ketiga adalah recycle. Oleh karena itu apabila diletakkan pada bentuk piramid, reduce menduduki tempat di puncak, sedangkan di bawahnya secara berturut-turut adalah reuse, kemudian recycle. Reduce berada di puncak piramid karena merupakan usaha atau tindakan pertama agar jumlah sampah yang dihasilkan di rumah tangga dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini merupakan langkah preventif yang memerlukan perubahan persepsi dan perilaku kita terutama pada saat berbelanja kebutuhan sehari-hari entah itu di warung, di pasar, di toko, di mal atau pun di hypermarket. Untuk pembelian barang apapun, sebelum memutuskan membelinya perlu dipikirkan secara matang apakah produk tersebut benar-benar dibutuhkan, bagaimana mutunya dan berapa lama masa pakainya. Sementara itu, carilah barang yang sederhana material pembungkusnya, karena toh akhirnya material pembungkus juga dibuang. Barang dengan material pembungkus sederhana belum tentu mutunya jelek. Bahkan dengan bungkus sederhana biasanya harga akan lebih miring, karena sepuluh persen uang yang dibelanjakan diperuntukan untuk biaya pembungkusan oleh produsen. Membeli barang dengan wadah yang dapat diisi ulang atau dapat digunakan kembali juga merupakan langkah yang bijaksana, seperti membeli minyak goreng dan pembersih lantai refill, karena akan mengurangi sampah wadah. Demikian pula menghindari pembelian barang yang sekali pakai lantas buang. Sebagai contoh, lebih baik membeli baterei yang dapat di-recharge, barang dengan wadah yang tahan lama, dan pencukur jenggot yang dapat diganti-ulang pisau siletnya. Satu lagi tindakan yang perlu kita biasakan yaitu membawa tas belanjaan sendiri. Dengan membawanya sendiri kita tidak perlu kantong plastik kresek dari toko sehingga jumlah sampah kantong kresek dapat berkurang. Kantong kresek merupakan material yang sulit terurai ketika dibuang sehingga mencemari lingkungan. Di negara-negara maju, membawa tas belanjaan dari rumah dapat menjadi kebiasaan karena kantong kresek dari toko ketika belanja tidak gratis lagi tetapi dihargai sekian sen. Demikianlah, contoh-contoh kegiatan reduce, langkah level pertama peduli sampah di rumah dengan maksud untuk meminimalkan jumlah sampah.

Jumat, 18 Juni 2010

Dari 1000 Pabrik Kompos di Jerman, tidak Satupun yang Pakai Bioaktivator

Menurut pakar mikrobiologi dari Bayerisches Institut für Angewandte Umweltforschung und -technik - BIfA (Jerman), yaitu Dr. Klaus Hoppenheidt, tidak ada satupun dari 1000 plant komposting skala besar di Jerman, yang mengolah sampah sebanyak 7,6 juta meter kubik menjadi kompos yang berkualitas tinggi, menggunakan bioaktivator atau inokulum. Dikatakan bahwa keanekaraman mikroba yang ada di dalam sampah sudah cukup untuk komposting. Hanya limbah-limbah yang mengalami proses sterilisasi yang memerlukan inokulum. Adapun kalau kita perlu inokulum, kita cukup memakai kompos. Di dalamnya terdapat berbagai macam mikroba yang dibutuhkan dalam proses komposting. Di akhir suratnya Dr. Klaus Hoppenheidt kepada penulis menyatakan bahwa dari kacamata seorang peneliti mikrobiologi, penggunaan inokulum atau bioaktivator tidak diperlukan. Berikut petikan surat elektroniknya yang dikirim kepada penulis via email pada tahun 2004: … In Germany we use about 1.000 composting plants and about 7.6 million metric tons of biological household waste for the production of high quality compost. None of these industrial composting plants use an inoculum for the composting process. We live in world which is dominated by microbes and every waste (and especially biomass) contains high numbers of different microbes which can start the composting process. Only if you heat the biomass (boiling of food in the kitchen) we can get waste fractions with minor content of microbes. Normally we mix different waste fraction and in this case you will get enough microbes as starting material for the composting process.If we want to use an inoculum, we can use compost, because these material contains all the microbes, which are necessary for the composting process. Therefore I agree that it is not necessary to use inoculums from the point of view of an microbiologist…”

Pendapat Para Pakar Kompos Dunia tentang Bioaktivator

Sebenarnya kontroversi penggunaan bioaktivator sudah ada sejak tahun 50-an dimana teknologi komposting limbah padat organik mulai berkembang pesat. Berikut ini beberapa pendapat para pakar kompos dunia tentang bioaktivator. Dr. Clarence Golueke Bagi para peneliti kompos, Dr Golueke bukanlah nama yang asing. Golueke dikenal sebagai Bapak Kompos karena kepakarannya di bidang penelitian kompos sehingga ilmu komposting berkembang begitu pesat. Dalam hal penggunaan bioaktivator Golueke telah mengadakan serangkai penelitian intensif sejak tahun 1954. Bioaktivator yang digunakan antara lain adalah tanah kebun, kotoran kuda, materi organik yang telah membusuk, dan berbagai produk bioaktivator yang diperdagangkan. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penambahan bioaktivator tidak mempercepat proses komposting dan tidak meningkatkan kualitas produk kompos secara signifikan meskipun bioaktivator yang dipergunakan kaya akan mikroba. Kontak pribadi dengan penulis via e-mail pada tahun 2004 disebutkan bahwa: “…Based on our the results of our research and on our experience we can tell you that the commercial inocula we have evaluated do not accelerate the composting process and do not improve the quality of the finished compost significantly…” (Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pengalaman yang kami lakukan, kami sampaikan bahwa berbagai macam inokulum komersial yang kami evaluasi tidak mempercepat proses komposting dan tidak meningkatkan kualitas kompos secara signifikan). Kemudian Dr. Golueke menyatakan bahwa: “…The use of commercial inocula to enhance the composting process is a waste of good money…“ (Penggunaan inokula untuk mempercepat proses komposting hanya buang-buang uang). Kemudian disampaikan bahwa: “…In the composting proces, the existing indigenous microflora was adequate …“ (di dalam proses komposting, mikroba yang terdapat di dalamnya sudah cukup memenuhi kebutuhan). Dr. Elliot Epstein Dr. Epstein juga seorang pakar kompos yang disegani seperti halnya Dr. Golueke. Pengalaman panjang di dunia komposting tidak diragukan lagi. Pada tahun 1997 Elliot menerbitkan textbook kompos yang berjudul “The Science of Composting” yang membahas tentang ilmu dasar komposting secara mendalam. Dalam Bab 3 tentang Mikrobiologi, Epstein menyatakan bahwa: “…At present time, no data in the literatur indicate that the addition of inoculants, microbes, or enzymes accelerates the composting process…” (Sampai saat ini tidak ada satu literatur pun yang mengindikasikan bahwa penambahan inokulan, mikroba atau enzim mempercepat proses komposting). Selanjutnya tentang bagaimana sebenarnya mempersiapkan proses komposting yang optimal, Epstein menyatakan bahwa: “…Preparing feedstock in terms of particle size, optimum moisture, and optimum C/N ratio along with managing the composting system for proper aeration appears to provide the best condition for optimum composting…” (persiapan bahan baku berupa ukuran partikel, kelembapan yang tepat, rasio C/N yang optimal yang dilakukan sepanjang pengelolaan komposting dengan sistem aerasi yang tepat akan memberi kondisi yang paling baik terhadap komposting yang optimal). Pada tahun 2004 penulis mencoba menghubunginya via e-mail untuk klarifikasi tentang pendapatnya tersebut, Dr Epstein masih berkesimpulan yang sama seperti di atas. Dr. Luis Diaz Bagi para peneliti kompos, Dr. Luis Diaz juga bukan nama yang asing. Penelitian dan pengalamannya di bidang komposting sangat luas. Pendapatnya tentang pengaruh aktivator terhadap proses komposting sama dengan pendapat Dr. Clarence Golueke dan Dr. Elliot Epstein, bahwa penambahan inokula tidak mempercepat proses komposting dan meningkatkan kualitas kompos secara signifikan. WHO Sementara itu, badan kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), dalam laporannya yang berjudul “Composting and Sanitary Disposal and Reclamation of Organic Waste” menyatakan bahwa: “…the use of inoculums were shown to be unnecessary and those offered for sale to be worthless…” (penggunaan inokulum memperlihatkan bahwa hal itu tidak diperlukan dan penjualannya tidak berguna).

Kamis, 17 Juni 2010

Mengapa Tidak Perlu Bioaktivator?

Dari pendapat para pakar kompos dan riset serta aplikasi komposting yang selama ini penulis lakukan di berbagai kota di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa penambahan bioaktivator tidak mempercepat proses komposting dan mutu produk kompos secara signifikan. Penambahan bioaktivator hanya akan meningkatkan biaya operasional komposting. Kunci utama dari proses komposting bukan pada penambahan bioaktivator, tetapi pada optimalisasi pengendali proses komposting seperti kelembapan, aerasi, , rasio C/N, dan sebagainya. Sampah organik yang dikomposkan umumnya mengandung sejumlah besar populasi dan berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, dan makhluk hidup lainnya. Sampah juga mengandung seluruh jenis makro dan mikronutrien yang dibutuhkan oleh mikroba sehingga memungkinkan komposting dapat berlangsung. Jadi dari sisi ketersediaan mikroba dan nutrisi (yang diperlukan oleh mikroba yang hidup dalam proses kompoting) di dalam sampah sudah lebih dari cukup. Kalau ingin mencapai proses komposting yang optimal yang perlu dilakukan adalah pengendalian faktor-faktor lingkungan. Jika kondisinya terkontrol, maka laju pertumbuhan mikroba yang terdapat di dalam sampah (native microbe) akan berlangsung secara eksponensial dan cepat sehingga jumlahnya meningkat tajam dan akibatnya kecepatan metabolisma atau penguraian sampah juga meningkat. Dalam prakteknya, untuk komposting sampah kota dengan jenis materi organik yang kaya akan nutrisi, minimal harus dikendalikan dua faktor lingkungan, yaitu: • Kelembapan, dan • Aerasi. Pengendalian kelembapan dilakukan dengan penyiraman air. Penyiraman dilakukan apabila materi yang dikomposkan terlalu kering. Akan tetapi apabila materi yang dikomposkan sudah relatif basah, penyiraman tidak diperlukan lagi. Kelembapan yang diinginkan sekitar 40 – 60% agar mikroorganisma earobik berkembang biak. Keberadaan air sangat diperlukan untuk mendukung proses reaksi biokimia dalam penguraian sampah. Akan tetapi kelembapannya tidak boleh terlalu tinggi karena dalam kondisi tersebut dominasi mikroorganisma aerobik akan diambil alih oleh mikroorganisma anaerobik. Prosesnya berubah menjadi proses aerobik yang dicirikan dengan timbulnya bau busuk dan proses penguraian yang lebih lama. Sementara itu, pengendalian aerasi dilakukan dengan pemberian udara atau pembalikan tumpukan materi yang dikomposkan. Pembalikan akan memperbaiki porositas udara di dalam tumpukan, homogenisasi yang dikomposkan, dan distribusi materi agar terekspos temperatur tinggi. Proses aerasi yang murah dilakukan secara alamiah dengan cara pengadukan dan bila diperlukan di dalam tumpukan materi yang sedang dikomposkan dipasang terowongan angin atau pipa yang berlubang-lubang. Aerasi yang baik sangat penting bagi keberlangsungan proses komposting karena mikroorganisma aerobik memerlukan udara untuk menguraikan sampah. Khusus untuk komposting sampah kota, faktor lingkungan lain yang berpengaruh terhadap proses komposting seperti rasio C/N, pH (keasaman), ukuran materi, temperatur, dan sebagainya tidaklah perlu dirisaukan karena faktor-faktor tersebut umumnya sudah mencukupi untuk persyaratan proses komposting. Sehubungan dengan proses komposting, hal penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sebagian besar bioaktivator yang diperdagangkan secara komersil dalam penggunaanya mensyaratkan batas maksimal suhu yang tidak boleh dilanggar, misalnya suhu 50oC. Kalau batas maksimal suhu tersebut dilanggar maka bioaktivator akan mati. Padahal pencapaian suhu tinggi amat diperlukan dalam rangka mendapatkan produk kompos yang bebas dari bibit penyakit dan bibit gulma. Di Amerika, Eropa dan Australia terdapat regulasi yang mensyaratkan adanya tingkat minimal suhu yang harus dicapai selama proses komposting dan lamanya waktu pengeksposan terhadap suhu tersebut sehingga patogen di dalam limbah dapat direduksi atau dibasmi. Regulasi sistem komposting yang aman dari patogen di AS dituangkan dalam regulasi yang dikenal dengan istilah Processes to Further Reduce Pathogens (PFRPs). Untuk komposting aerobik di dalam reaktor tertutup atau sistem tumpukan statik yang teraerasi, minimal suhu yang harus dicapai adalah 55oC dan dijaga keberlangsungannya selama tiga hari berturut-turut. Sedangkan untuk sistem windrow seperti yang banyak dipraktekan di dunia termasuk Indonesia, suhu minimal yang harus dicapai adalah sama, hanya saja waktunya harus lebih lama, yaitu 15 hari.